Perbedaan Antara Hadits Qudsi dengan Hadits Nabawi

November 06, 2016
Hadits nabawi ada dua macam:

1. Tauqifi. Yang bersifat tauqifi, yaitu; kandungannya diterima oleh Rasulullah dari wahyu, lalu ia dijelaskan kepada manusia dengan kata-kata darinya. Di sini, meskipun kandungannya dinisbahkan kepada Allah, tetapi –dari sisi perkataan– lebih layak dinisbahkan kepada Rasulullah, sebab kata-kata itu disandarkan kepada siapa yang mengatakannya, walaupun terdapat makna yang diterimanya dari pihak lain.

2. Taufiqi. Bagian lain adalah taufiqi. Yang bersifat taufiqi, yiatu; yang disimpulkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, menurut pemahamannya terhadap Al Qur’an, karena fungsi Rasul menjelaskan, menerangkan Al-Qur’an, atau mengambil istimbat dengan perenungan ijtihad. Dalam hal ini, wahyu akan mendiamkannya bila benar. Dan bila terdapat kesalahan di dalamnya, maka wahyu akan turun untuk membetulkannya. Yang pasti taufiqi ini bukan kalam Allah.

Dari sini jelaslah bahwa hadits nabawi dengan kedua bagiannya yang taufiqi dengan ijtihad yang diakui oleh wahyu itu dapat dikatakan bersumber dari wahyu. Inilah esensi dari firman Allah tentang Rasul kita Muhammad shallallahu ‘alayhi wa sallam,
“Dia (Muhammad) tidak berbicara menurut hawa nafsunya. Apa yang diucapkannya itu tidak lain hanyalah wahyu yang diturunkan kepadanya.” (QS. An-Najm: 3-4)

Hadits qudsi itu maknanya dari Allah. Hadits ini disampaikan kepada Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dengan satu cara dari beberapa model pewahyuan, tetapi lafazhnya dari Rasulullah. Inilah pendapat yang kuat. Dinisbatkannya hadits qudsi kepada Allah Ta’ala adalah penisbatan isinya (esensi, penj), bukan penisbatan lafazhnya (redaksi, penj). Sebab seandainya lafazh hadits qudsi itu berasal dari Allah, maka tentu tidak berbeda dengan Al-Qur’an; gaya bahasanya pun akan menantang, juga yang membacanya dianggap ibadah.

Tentang hal ini muncul dua syubhat:

Pertama; Hadits nabawi ini secara maknawi juga wahyu, lafazh pun dari Rasulullah, tetapi mengapa tidak kita namakan juga sebagai hadits qudsi?

Jawabannya ialah; Kita memastikan bahwa hadits qudsi itu maknanya diturunkan dari Allah, karena adanya nash syar’i yang menisbatkannya kepada Allah, yaitu kata-kata Rasulullah; Allah Ta’ala terlah berfirman (qaalallaah), atau Allah Ta’ala berfirman (yaquulullaah). Itu sebabnya, kita namakan hadits itu hadits qudsi. Berbeda dengan hadits-hadits nabawi, karena hadits nabawi itu tidak memuat nash seperti ini. Di samping itu, boleh jadi masing-masing isinya disampaikan melalui wahyu (yakni secara tauqifi), dan mungkin juga disimpulkan malalui ijtihad (yaitu secara taufiqi). Dengan demikian, kita namakan semuanya dengan nabawi sebagai nama yang pasti. Seandainya kita mempunyai bukti untuk membedakan nama wahyu tauqifi, tentulah hadits nabawi itu kita namakan pula hadits qudsi.

Kedua; Apabila lafazh hadits qudsi itu dari Rasulullah, maka dengan alasan apakah hadits itu dinisbatkan kepada Allah melalui kata-kata Nabi seperti, “Allah Ta’ala telah berfirman” atau “Allah Ta’ala berfirman?”

Jawabannya; Hal seperti ini biasanya terjadi dalam Bahasa Arab, yang mana suatu ucapan disandarkan berdasarkan kandungannya, bukan lafazhnya. Misalnya: ketika kita menggubah satu bait syair, kita mengatakan “si penyair berkata demikian.” Juga ketika kita menceritakan apa yang kita dengar dari seseorang, kita pun mengatakan “si fulan berkata demikian.” Begitu juga Al-Qur’an menceritakan tentang Musa, Fir’aun dan lainnya dengan lafazh yang bukan lafazh yang mereka ucapkan dan dengan gaya bahasa yang bukan pula gaya bahasa mereka, tetapi tetap saja disandarkan kepada mereka.

“Dan (ingatlah) ketika Tuhanmu menyeru Musa (dengan firman-Nya): "Datangilah kaum yang zalim itu. (yaitu) kaum Fir´aun. Mengapa mereka tidak bertakwa? Berkata Musa: "Ya Tuhanku, sesungguhnya aku takut bahwa mereka akan mendustakan aku. Dan (karenanya) sempitlah dadaku dan tidak lancar lidahku maka utuslah (Jibril) kepada Harun. Dan aku berdosa terhadap mereka, maka aku takut mereka akan membunuhku". Allah berfirman: "Jangan takut (mereka tidak akan dapat membunuhmu), maka pergilah kamu berdua dengan membawa ayat-ayat Kami (mukjizat-mukjizat); sesungguhnya Kami bersamamu mendengarkan (apa-apa yang mereka katakan). Maka datanglah kamu berdua kepada Fir´aun dan katakanlah olehmu: "Sesungguhnya Kami adalah Rasul Tuhan semesta alam. Lepaskanlah Bani Israil (pergi) beserta kami". Fir´aun menjawab: "Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu. Dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna. Berkata Musa: "Aku telah melakukannya, sedang aku di waktu itu termasuk orang-orang yang khilaf. Lalu aku lari meninggalkan kamu ketika aku takut kepadamu, kemudian Tuhanku memberikan kepadaku ilmu serta Dia menjadikanku salah seorang di antara rasul-rasul. Budi yang kamu limpahkan kepadaku itu adalah (disebabkan) kamu telah memperbudak Bani Israil". Fir´aun bertanya: "Siapa Tuhan semesta alam itu? Musa menjawab: "Tuhan Pencipta langit dan bumi dan apa-apa yang di antara keduanya (Itulah Tuhanmu), jika kamu sekalian (orang-orang) mempercayai-Nya" (QS. Asy-Syu’araa: 10-24)

Materi terkait:
Perbedaan Antara Al Qur'an dan Hadits Qudsi
Nama-nama dan Sifat-sifat Al Qur'an
Definisi Al Qur'an
Hukum Wanita Haid Membaca Al Qur'an

 Minyak Zaitun Ruqyah (MIZAR)

Artikel Terkait

Previous
Next Post »