HUKUM WANITA HAID MEMBACA AL-QUR’AN

April 11, 2016

Al-Qur’an adalah kalamullah yang suci. Al-Qur’an diturunkan Allah S.W.T. kepada Rasulallah S.A.W. melalui malaikat Jibril a.s. Membaca al-Qur’an bernilai ibadah dari setiap hurufnya. Kandungan isinya adalah petunjuk bagi manusia secara umum dan bagi orang-orang bertakwa secara khusus. Sehingga, seorang muslim dan muslimah dituntut untuk terus membaca al-Qur’an.
Keutamaan membaca al-Qur’an sangat agung dalam agama Islam. Di antaranya adalah mendapatkan syafaat di hari kiamat, mendapatkan pahala berlipat ganda setiap huruf yang dibaca, dan meraih kedudukan tinggi di Surga. Berkaitan dengan hal ini, berikut adalah hadits-hadits yang menunjukan hal itu:
عَنْ أَبي أُمَامَةَ الْبَاهِلِىّ قَالَ:سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ  اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَالْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ...
Abu Umamah al-Bahily mengatakan bahwa ia mendengar Rasulallah S.A.W. bersabda, “Bacalah oleh kalian al-Qur’an! Karena ia akan menjadi pemberi syafaat bagi pembacanya pada hari kiamat...” (HR. Muslim)
عَنْ عَبْدِاللهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ:  « مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ ،وَالحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا، لاَأَقُولُ الْم حَرْفٌ، وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ »
Abdullah bin Mas’ud mengatakan bahwa Rasulallah S.A.W. bersabda, “Barangsiapa membaca satu huruf dalam kitabulloh maka baginya satu kebaikan. Setiap satu kebaikan itu dilipatgandakan menjadi sepuluh kali lipat. Aku tidak mengatakan bahwa Ali Lam Mim itu satu huruf. Tapi alif itu satu huruf, lam satu huruf, dan mim satu huruf.”(HR. At-Tirmidzi)
Agungnya pahala membaca al-Qur’an ini harus menjadi motivasi bagi setiap muslim dan muslimah untuk senantiasa memperbanyak membaca al-Qur’an. Sehingga sepatutnya membaca al-Qur’an menjadi ibadah rutin dalam kehidupan sehari-hari. Di antara adab dalam membaca al-Qur’an adalah dalam kondisi suci. Hanya saja, ada kondisi-kondisi tertentu yang menjadi penghalang dari kesucian khusus bagi wanita muslimah. Seperti ketika ia dalam keadaan haid. Maka, bolehkah seorang wanita membaca al-Qur’an ketika dalam kondisi haid?

Sebagian ulama berpandangan bahwa wanita yang haid tidak boleh membaca al-Qur’an. Di antara ulama dari kalangan mazhab Hanafi yang berpandangan demikan adalah Imam al-Kasani dalam kitab Bada’i as-Shona’i dan as-Sarakhsi dalam kitab al-Mabsuth. Ulama-ulama mazhab Syafii yang berpendapat demikian pun cukup banyak. Di antara mereka adalah Imam an-Nawawi dalam kitab al-Majmu, Imam Zakaria al-Anshari dalam kitab Asnal Matholib Syarh Raudhohtu Tholib, Ibnu Hajar al-Haitsami dalam Tuhfah al-Muhtaj, dan ulama-ulama lainnya.
Dalil yang digunakan tentang larangan wanita haid membaca al-Qur’an adalah:
عَنِ ابْنِ عُمَرَ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: لاَ تَقْرَأِ الحَائِضُ، وَلاَ الجُنُبُ شَيْئًا مِنَ القُرْآنِ.
Ibnu Umar r.a. meriwayatkan hadits bahwa Nabi S.A.W. bersabda, “Wanita haid dan orang yang sedang junub janganlah membaca apapun dari al-Qur’an.” (HR. At-Tirmidzi)
Allah S.W.T. berfirman dalam al-Qur’an surat al-Waqi’ah ayat 79:
لَا يَمَسُّهُ إِلَّا الْمُطَهَّرُونَ
“Tidak ada yang menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.”
Sebenarnya, dasar argumentasi pandangan yang melarang wanita haid membaca al-Qur’an adalah disamakannya wanita dengan orang yang dalam keadaan junub. Karena keduanya diwajibkan mandi janabah. Berkaitan dengan hal ini terdapat riwayat dari Ali bin Abi Thalib:
“Sesungguhnya Rasulallah S.A.W. mengajarkan mereka al-Qur’an, tidak ada yang menghalanginya dari al-Qur’an selain janabah.”
Sebagian ulama lain berpendapat bahwa wanita haid dibolehkan membaca al-Qur’an. Ini merupakan pendapat mazhab Maliki, salah satu pendapat Imam Ahmad, Imam asy-Syaukani dan pendapat yang dipilih oleh Syekhul Islam Ahmad bin Abdul Halim al-Harroni sebagaimana dalam kitab Majmu al-Fatawa.
Syekhul Islam Ahmad bin Abdul Halim berkata, “Sudah diketahui bahwa para wanita di zaman Rasulallah S.A.W. dahulu pun mengalami haid dan mereka tidak dilarang dari membaca al-Qur’an. Hal ini sebagaimana mereka tidak dilarang dari dzikir dan doa. Bahkan, para wanita diperintahkan untuk ikut serta datang ke tempat pelaksanaan shalat ied dan mereka bertakbir sebagaimana kaum muslimin bertakbir.”
Adapun dasar argumentasi para ulama yang berpandangan bolehnya membaca al-Qur’an bagi wanita haid adalah sebagai berikut:
1.  Tidak ada dalil yang kuat dan jelas yang menunjukkan haramnya membaca al-Qur’an bagi wanita haid. Sehingga dikembalikan ke hukum asal, yaitu perintah membaca al-Qur’an secara mutlak.
2.  Dilarangnya seorang wanita haid dari membaca al-Qur’an menyebabkan hilangnya kesempatan meraih pahala yang besar. Padahal Allah S.W.T. dan Rasul-Nya memerintahkan untuk membaca dan memuji pelakunya. Selama tidak ada dalil yang akurat akan pelarangan ini maka dibolehkan membaca al-Qur’an.
3.  Meng-qiyas-kan antara wanita haid dengan orang junub adalah dua hal yang berbeda. Sebab orang junub mempunyai pilihan untuk segera mandi menghilangkan hadatsnya. Sedangkan haid tidak ada pilihan sampai ia suci.
Adapun cara berdalil yang digunakan oleh yang melarang memiliki kelemahan yang menunjukkan tidak bisanya dalil tersebut dijadikan argumen dalam masalah ini.
Dalil pertama, riwayat Ibnu Umar dalam sunan at-Tirmidzi merupakan hadits lemah, karena berasal dari riwayat Ismail bin Ayasy dari orang-orang Hijaz. Riwayat dia dari mereka dianggap lemah. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Ini merupakan hadits lemah berdasarkan kesepakatan para pakar hadits.”
Dalil kedua, Makna al-Mutoharun dalam QS. Al-Waqi’ah ayat 79 bukan bermakna orang-orang yang suci dari hadats. Maksud al-Mutohtahun menurut mayoritas ahli tafsir adalah Malaikat sebagaimana pendapat sahabat Ibnu Abbas, Anas, Mujahid, Ikrimah, Said bin Jubair, ad-Dhahak, Jabir bin Zaid, as-Suddi, Abdurrahman bin Zaid bin Aslam, dan lain-lain. Sehingga dijadikannya ayat tersebut sebagai dalil dilarangnya wanita haid membaca al-Qur’an kurang tepat.
Dalil ketiga, Para pakar hadits berselisih pendapat akan keabsahan dalil riwayat Ali bin Abi Thalib di atas. Ada yang menshahihkan seperti Imam Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Hakim, dan lain-lain. Tapi ahli hadits lain juga banyak yang men-dhaifkan hadits tersebut seperti Imam Syafii, Ahmad bin Hambal, al-Bukahri, al-Baihaqi, al-Mundziri, an-Nawawi, Syu’bah, dan lain-lain. Alasannya sebagaimana diungkapkan Imam Syafi’i bahwa Abdullah bin Salamah, salah satu perawi jalur riwayat tersebut tidak bisa dijadikan hujjah karena ketika meriwayatkan hadits tersebut usianya telah tua dan hafalannya berubah.
Dari pemaparan di atas, maka jelas bahwa pandangan yang melarang wanita haid membaca al-Qur’an tidaklah terlalu kuat. Pendapat lain dalam masalah ini adalah dibolehkannya membaca al-Qur’an bagi wanita haid tapi diusahakan tidak sampai menyentuh mushaf secara langsung. Bisa menggunakan penghalang kain dan lain-lain yang semisal. Terlebih jika ia merasa khawatir lupa akan hafalannya. Hal ini berdasarkan hadits berikut:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ أَبِي بَكْرِ بْنِ حَزْمٍ أَنَّ فِي الْكِتَابِ الَّذِي كَتَبَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِعَمْرِ و بْنِ حَزْمٍ أَنْ لَا يَمَسَّ الْقُرْآنَ إِلَّا طَاهِرٌ
Abdullah ibn Abi Bakr ibn Hazm meriwayatkan bahwa di dalam kitab yang ditulis oleh Rasulallah S.A.W. kepada Amr ibn Hazm disebutkan bahwa tidak ada yang menyentuh al-Qur’an melainkan orang yang suci.” (HR. Malik dan Daruqutni)
Al-Hafiz Ibnu Hajar menjelaskan bahwa hadits tersebut telah dishahihkan oleh sejumlah tokoh ulama yang terkenal. Imam as-Syafii mengatakan bahwa riwayat tersebut kuat bersumber dari Rasulallah S.A.W.. Imam Ibnu Abdil Barr pun menjelaskan bahwa ini surat yang terkenal di kalangan ahli sejarah dan sangat dikenal di kalangan para ulama sehingga tidak membutuhkan sanad, karena lebih mirip sebagai riwayat mutawatir yang diterima manusia dengan baik dan telah dikenal.
Syekh Abdul Aziz bin Baz pernah menjelaskan sebagaimana tercantum dalam kitab Mamju’ al-Fatawa Ibnu Baz bawa diperbolehkan bagi wanita haid dan nifas untuk membaca Al-Qur’an menurut pendapat ulama yang paling kuat. Alasannya, karena tidak ada dalil yang melarang hal ini. Namun, seharusnya membaca Al-Qur’an tersebut tidak sampai menyentuh mushaf Al-Qur’an. Kalau memang mau menyentuh Al-Qur’an, maka seharusnya dengan menggunakan pembatas seperti kain yang suci dan semacamnya. Demikian pula untuk menulis Al-Qur’an di kertas ketika dibutuhkan, maka diperbolehkan dengan menggunakan pembatas seperti kain tadi.
Imam Nawawi rahimahullah dalam al-Majmu mengatakan bahwa jika kitab tafsir tersebut lebih banyak kajian tafsirnya daripada ayat Al-Qur’an sebagaimana umumnya kitab tafsir semacam itu, maka di sini ada beberapa pendapat ulama. Namun yang lebih tepat, kitab tafsir semacam itu tidak mengapa disentuh karena tidak disebut mushaf.

Baca juga artikel seputar Al Qur'an berikut:



Artikel Terkait

Previous
Next Post »