KESALAHAN-KESALAHAN DALAM BULAN RAMADHAN

Mei 20, 2017
Bulan Romadon adalah kesempatan emas untuk mendulang pahala dan menuai ampunan Alloh Subhanahu wa Ta’ala. Bulan penuh keberkahan yang hanya sekali dalam setahun mengunjungi kita. Inilah saatnya orang-orang yang merindukan surga berpacu dalam amal sholeh. Inilah pula saatnya orang-orang yang banyak berdosa bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan mengganti lembaran-lembaran hidupnya yang kelam dengan lembaran-lembaran baru yang putih dan bersih.

Agar kita berhasil meraih kebaikan yang melimpah di bulan ini, maka hendaknya kita menghindari beberapa kesalahan yang kerap dilakukan oleh sebagian kaum Muslimin terkait dengan amalan-amalan di bulan Romadon.

Berikut ini kami paparkan penjelasan seputar kesalahan-kesalahan yang sering terjadi pada bulan Romadon. Semoga Alloh Subhanahu wa Ta’ala memberikan manfaat dalam penjelasan ini. Amin..

1. Mengkhususkan ziarah kubur menjelang Romadon.
Tidaklah tepat keyakinan bahwa menjelang bulan Romadon adalah waktu utama untuk menziarahi kubur orang tua atau kerabat (dikenal dengan “nyadran” atau “nyekar”).

Kita boleh setiap saat melakukan ziarah kubur agar hati kita semakin lembut karena mengingat kematian. Namun masalahnya adalah jika seseorang mengkhususkan ziarah kubur pada waktu tertentu dan meyakini bahwa menjelang Romadon adalah waktu utama untuk nyadran atau nyekar. Ini sungguh suatu kekeliruan, karena sama sekali tidak ada dasarnya dari ajaran Islam yang menuntunkan hal ini.

2. Mengerjakan puasa tetapi meninggalkan sholat.
Ini merupakan kesalahan yang besar. Sebab sholat adalah tiang agama dan rukun Islam yang paling agung setelah syahadat. Jauh lebih ringan meninggalkan puasa daripada meninggalkan sholat.

Oleh karena itu, sungguh keliru jika seseorang berpuasa tetapi meninggalkan sholat. Bahkan orang yang meninggalkan sholat puasanya tidak sah dan tidak diterima, karena orang yang meninggalkan sholat hukumnya kafir dan murtad. Hal ini berdasarkan firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala :
فَإِن تَابُواْ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَءَاتَوُاْ ٱلزَّكَوٰةَ فَإِخۡوَٰنُكُمۡ فِي ٱلدِّينِۗ
“Jika mereka bertaubat, mendirikan sholat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu) adalah saudara-saudara kalian seagama..” (QS. at-Taubah [9]: 11)

Ini adalah pendapat kebanyakan sahabat, walaupun bukan ijma’ (kesepakatan bulat) mereka. ‘Abdulloh bin Syaqiq   -seorang tabi’in yang mulia- berkata: “Bahwasanya para sahabat Nabi Muhammad sollallohu ‘alayhi wa sallam tidak menganggap suatu amalan yang apabila ditinggalkan menjadi kafir kecuali solat.”

Sebagaimana telah dimaklumi bahwa orang kafir tidak diterima semua amal ibadahnya. Oleh karena itu, sudah sepantasnya seorang yang meninggalkan sholat menjadikan Romadon sebagai momen yang tepat untuk bertaubat dan melaksanakan sholat secara kontinyu baik di bulan Romadon maupun di bulan-bulan lainnya.

3. Tidak rajin mengerjakan sholat kecuali di Bulan Romadon.
Sebagian orang ada juga yang hanya aktif dan bersemangat melaksanakan solat selama di bulan Romadon saja. Di luar Romadon mereka menyia-nyiakan solat. Ini jelas merupakan kesalahan paling fatal dan dosa besar. Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالْكُفْرِ تَرْكُ الصَّلاَةِ
“(Batas) antara seseorang dengan kesyirikan dan kekufuran adalah meninggalkan sholat.” (HR. Muslim)
الْعَهْدُ الَّذِي بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمُ الصَّلاَةُ، فَمَنْ تَرَكَهَا فَقَدْ كَفَرَ
“Perjanjian antara kami (kaum Muslimin) dan mereka (orang-orang munafik) adalah sholat. Barangsiapa meninggalkannya, maka sungguh ia telah kafir.” (HR. at-Tirmidzi, an-Nasa’i dan Ibnu Majah)

4. Lalai dari tujuan utama puasa dan hikmah-hikmahnya.
Puasa memiliki maksud dan tujuan yang tinggi, di antaranya adalah apa yang disebutkan Alloh   dalam firman-Nya:
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (QS. al-Baqarah [2]: 183)

Tujuan puasa adalah agar seseorang meraih ketakwaan, bukan hanya sekedar menahan diri dari makan dan minum, karena Alloh Subhanahu wa Ta’ala  tidak butuh puasa yang seperti ini, sebagaimana sabda Nabi  :
مَنْ لَمْ يَدَعْ قَوْلَ الزُّوْرِ وَالْعَمَلَ بِهِ فَلَيْسَ لِلَّهِ حَاجَةٌ فِي أَنْ يَدَعَ طَعَامَهُ وَشَرَابَهُ
“Barangsiapa tidak meninggalkan perkataan keji dan dusta, serta melakukannya, maka Alloh tidak butuh dengan puasanya.” (HR. Bukhori)

Bahkan puasa yang benar dapat mencegah seseorang dari perbuatan maksiat, sebagaimana sabda Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam:
الصِّيَامُ جُنَّةٌ، فَلاَ يَرْفُثْ وَلاَ يَجْهَلْ...
“Puasa adalah perisai, maka janganlah seorang yang berpuasa itu berkata keji dan berbuat jahil….” (HR. Bukhori dan Muslim)

Terkadang kita melihat sebagian orang berpuasa, tetapi tidak meninggalkan perbuatan dan perkataan haram, seperti permusuhan, hasad, dengki, ghībah dan namīmah (menggunjing dan mengadu domba), serta perkataan keji dan kotor lainnya.

5. Tidak mempelajari hukum-hukum puasa, adab-adabnya, syarat-syarat dan pembatalnya.
Untuk mengetahui tentang hukum-hukum yang terkait dengan puasa tidaklah sulit. Bisa dengan menghadiri majlis-majlis ta’lim, atau membaca buku atau bertanya kepada orang yang mengerti tentang masalah puasa.

Orang yang meninggalkan semua ini, maka ia berpuasa dalam keadaan jahil (bodoh), sehingga boleh jadi ia  melakukan perbuatan yang membatalkan puasanya sedangkan ia tidak mengetahuinya. Padahal Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
..فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ ٤٣
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan, jika kalian tidak mengetahui.” (QS. an-Nahl: 43)

Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa melakukan amalan yang tidak didasari perintah kami, maka amalan tersebut tertolak.” (HR. Muslim)

طَلَبُ اْلعِلْمِ فَرِيْضَةٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ
“Menuntut ilmu adalah kewajban bagi setiap Muslim.” (HR. al-Baihaqi)

6. Berlebih-lebihan dalam makan dan minum sehingga merasa berat untuk beribadah.
Sebagian salafus sholeh mengatakan bahwa barangsiapa yang banyak makan, minum dan tidur, niscaya ia luput dari berbagai macam kebaikan. Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
مَا مَلأَ ابْنُ آدَمَ وِعَاءً شَرًّا مِنْ بَطْنٍ، بِحَسَبِ ابْنِ آدَمَ لُقَيْمَاتٌ يُقِمْنَ صُلْبَهُ، فَإِنْ كَانَ فَاعِلاً فَثُلُثُ لِطَعَامِهِ، وَثُلُثُ لِشَرَابِهِ، وَثُلُثٌ لِنَفَسِهِ
“Tidak ada tempat paling buruk yang dipenuhi isinya oleh manusia kecuali perutnya, karena sebenarnya cukup baginya beberapa suapan untuk menegakkan punggungnya. Kalaupun ia ingin makan, hendaknya ia atur dengan cara sepertiga untuk makanannya, sepertiga untuk minumannya dan sepertiga lagi untuk nafasnya.” (HR. Ahmad, an-Nasa’i dan at-Tirmidzi, dishahihkan al-Albani)

Sebagian salaf berkata, “Alloh Subhanahu wa Ta’ala menghimpun seluruh sebab-sebab kesehatan pada separuh ayat, yaitu firman Alloh Subhanahu wa Ta’ala:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ وَلَا تُسۡرِفُوٓاْۚ إِنَّهُۥ لَا يُحِبُّ ٱلۡمُسۡرِفِينَ ٣١
Makan dan minumlah kalian, akan tetapi janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan” (QS. al-A’raf [7]:  31)

Barangsiapa berlebih-lebihan dalam makan dan minum, ia telah lalai dari salah satu hikmah puasa, yaitu menghindarkan tubuh dari pengaruh makanan dan minuman berlebih yang bisa memberatkan tubuh.

Ingatlah bahwa jika lambung penuh, maka pikiran akan mati, kebijaksanaan yang dimiliki akan hilang dan anggota tubuh tidak mampu lagi untuk mengerjakan ibadah. Jika terlalu banyak makan saat berbuka, maka malam hari kita akan penuh dengan tidur. Sebagaimana jika terlalu banyak makan sahur, maka siang hari kita akan penuh dengan rasa malas.

7. Meninggalkan makan sahur.
Ada sebagian orang yang meninggalkan makan sahur. Hal ini sesungguhnya tidak sesuai dengan sunnah. Dari Abu Sa’id al-Khudri rodiyallohu ‘anhu ia berkata bahwa, “Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
السُّحُورُ كُلُّهُ بَرَكَةٌ، فَلاَ تَدَعُوهُ وَلَوْ أَنْ يَجْرَعَ أَحَدُكُمْ جَرْعَةً مِنْ مَاءٍ، فَإِنَّ اللَّهَ وَمَلاَئِكَتَهُ يُصَلُّوْنَ عَلَى الْمُتَسَحِّرِيْنَ
“Makan sahur itu seluruhnya berkah. Maka janganlah kalian meninggalkannya walaupun hanya dengan seteguk air, karena sesungguhnya Alloh dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang makan sahur.” (HR. Ahmad dengan sanad hasan)

8. Mengawalkan waktu sahur dan mengakhirkan berbuka puasa.
Ini menyelisihi petunjuk Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam, dimana beliau selalu mengakhirkan sahur dan menyegerakan berbuka. Beliau sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
لاَ يَزَالُ النَّاسُ بِخَيْرٍ مَا عَجَّلُوْا الْفُطُوْرُ
“Manusia senantiasa dalam kebaikan selama menyegerakan berbuka.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Beliau sollallohu a’alayhi wa sallam mengabarkan bahwa mengakhirkan berbuka adalah tradisi kaum Yahudi. Ketika menyemangati kaum Muslimin untuk menyegerakan berbuka, beliau sollallohu a’alayhi wa sallam bersabda:
فَإِنَّ الْيَهُوْدَ يُؤَخِّرُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang Yahudi selalu mengakhirkan (berbuka puasa).” (HR. Ibnu Majah dan Ibnu Khuzaimah dengan sanad yang shahih)

Adapun mengakhirkan sahur adalah sunnah, sebagaimana dalam hadits Zaid bin Tsabit rodiyallohu ‘anhu, ia berkata:
تَسَحَّرْنَا مَعَ النَّبِىِّ   ثُمَّ قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ. قُلْتُ كَمْ كَانَ بَيْنَ اْلأَذَانِ وَالسَّحُوْرِ؟ قَالَ: قَدْرُ خَمْسِيْنَ آيَةً
“Kami sahur bersama Nabi  , kemudian beliau bangkit menuju sholat. Aku bertanya, ‘Berapa jarak waktu antara adzan dan sahur?’. Maka beliau menjawab, ‘Kira-kira lima puluh ayat.” (HR. Bukhori)

9. Tidak berusaha memahami dan mentadabburi al-Qur’an.
Banyak di antara kaum Muslimin membaca al-Qur’an tapi tidak berusaha memahami apa yang mereka baca. Bahkan, ketika terlintas hukum-hukum syar’i, dalil-dalil Qur’aniyyah, nasehat-nasehat yang agung dan perumpamaan-perumpamaan yang jelas, ia tidak mengetahui apa yang melintasinya, tidak pula mengetahui makna kitab Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang turun kepadanya.

Padahal Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
كِتَٰبٌ أَنزَلۡنَٰهُ إِلَيۡكَ مُبَٰرَكٞ لِّيَدَّبَّرُوٓاْ ءَايَٰتِهِۦ وَلِيَتَذَكَّرَ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٢٩
“Ini adalah kitab (al-Qur’an) yang Kami turunkan kepadamu dengan penuh berkah agar mereka menghayati ayat-ayatnya dan agar orang-orang yang berakal sehat mendapat petunjuk.” (QS. Shad [38]: 29)

Alloh Subhanahu wa Ta’ala mencela orang-orang yang berpaling dari mentadabburi al-Qur’an dalam firman-Nya:
أَفَلَا يَتَدَبَّرُونَ ٱلۡقُرۡءَانَ أَمۡ عَلَىٰ قُلُوبٍ أَقۡفَالُهَآ ٢٤
“Maka, apakah mereka tidak memperhatikan al-Qur’an ataukah hati mereka terkunci?” (QS. Muhammad [47]: 24)

Alloh Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwa hal ini merupakan sifat kebanyakan orang Yahudi. Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“Di antara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui al-Kitab, kecuali dongengan bohong belaka dan mereka hanya menduga-duga.” (QS. al-Baqarah [2]: 78)

Abu Ja’far Ibnu Jarir ath-Thabari berkata, “Maksud firman-Nya “mereka tidak mengetahui al-Kitab” adalah tidak mengetahui apa-apa yang ada di dalam kitab yang diturunkan oleh Alloh, dan tidak mengetahui apa-apa yang Alloh tetapkan berupa batasan, hukum dan kewajiban sehingga keadaan mereka seperti halnya para binatang”.

Abu Abdil Rohman as-Sulami rohimahulloh berkata, “Orang-orang yang membacakan al-Qur’an kepada kami telah memberitakan bahwa apabila mereka mempelajari sepuluh ayat, mereka tidak melanjutkannya sampai mengetahui kandungan ilmu  di dalamnya lalu mengamalkannya”. Beliau berkata, “Dengan begitu kami mempelajari al-Qur’an, ilmu dan juga mengamalkannya”.

10. Tidak membiasakan anak-anak kecil berpuasa.
Mereka tidak menganjurkan anak-anaknya berpuasa dengan berdalih mereka masih kecil, masih belum mampu berpuasa. Perbuatan ini menyelisihi salafus sholeh dari kalangan para sahabat dan setelahnya.

Imam Bukhori dan Muslim meriwayatkan dari ar-Rabi’ binti Mu’awidz rodiyallohu ‘anha berkata:
فَكُنَّا نَصُوْمُهُ بَعْدُ، وَنُصَوِّمُ صِبْيَانَنَا، وَنَجْعَلُ لَهُمُ اللُّعْبَةَ مِنَ الْعِهْنِ، فَإِذَا بَكَى أَحَدُهُمْ عَلَى الطَّعَامِ أَعْطَيْنَاهُ ذَاكَ، حَتَّى يَكُوْنَ عِنْدَ اْلإِفْطَارِ
“Kami berpuasa dan memerintahkan anak-anak kecil kami berpuasa. Kami membuatkan mereka mainan dari bulu. Maka, apabila mereka menangis karena lapar, kami berikan mainan itu kepadanya, sampai tiba waktu berbuka.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Sedangkan dalam riwayat Muslim:
فَإِذَا سَأَلُوْا الطَّعَامَ أَعْطَيْنَاهُمُ اللُّعْبَةَ تُلْهِيْهِمْ حَتَّى يُتِمُّوْا صَوْمَهُمْ
“Apabila mereka meminta makan, kami berikan mainan yang dapat menyibukkannya sehingga mereka dapat menyempurnakan puasanya.” (HR. Muslim)

Maksudnya, mereka membiasakan anak-anaknya berpuasa dan melipur anak-anaknya dengan mainan dari bulu. Mereka melakukan hal itu sebagai upaya melatih anak-anak mereka untuk berpuasa. Anak kecil tidak disyaratkan berpuasa sehari penuh karena belum wajib. Akan tetapi, hendaknya orang tua membiasakan mereka untuk berpuasa sesuai kemampuannya.

11. Melafazhkan niat puasa.
Ini tidak memiliki asal dari sunnah yang suci, bahkan termasuk bid’ah yang diada-adakan. Niat merupakan salah satu syarat sahnya ibadah, sebagaimana sabda Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam:
إِنَّمَا اْلأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ
“Sesungguhnya amal perbuatan itu hanya tergantung pada niat.” (HR. Bukhori dan Muslim)

Akan tetapi, niat itu tempatnya di hati sehingga cukup seseorang itu bangun untuk makan sahur, atau bertekad untuk berpuasa sebelum tidur, atau yang semisalnya (tanpa perlu melafazkan niat di lisan).

12. Membangunkan “Sahur ... Sahur” sehingga mengganggu orang lain.
Sebenarnya Islam sudah memiliki tata cara sendiri untuk menunjukkan waktu bolehnya makan dan minum, yaitu dengan adzan pertama sebelum adzan Shubuh. Sedangkan adzan kedua ketika adzan Shubuh adalah untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum.

Inilah cara untuk memberitahukan pada kaum Muslimin bahwa masih diperbolehkan makan dan minum dan memberitahukan berakhirnya waktu sahur. Sehingga tidak tepat jika membangunkan kaum muslimin dengan meneriakkan “sahur...sahur...”, baik melalui speaker atau pun datang ke rumah-rumah seperti mengetuk pintu.

Cara membangunkan seperti ini sungguh tidak ada tuntunannya sama sekali dari Nabi sollallohu ‘alayhih wa sallam juga tidak pernah dilakukan oleh generasi terbaik dari umat ini.

Jadi, hendaklah yang dilakukan adalah melaksanakan dua kali adzan. Adzan pertama untuk menunjukkan masih dibolehkannya makan dan minum. Adzan kedua untuk menunjukkan diharamkannya makan dan minum.

Ibnu Mas’ud rodiyallohu ‘anhu memiliki nasehat yang indah, “Ikutilah petunjuk Rosul, janganlah kalian membuat bid’ah. Karena (sunnah) itu sudah cukup bagi kalian”.

13. Pensyariatan waktu imsāk (berhenti makan 10 menit sebelum waktu Shubuh).
Yang dimaksud di sini adalah berhenti dari makan, minum dan segala pembatal puasa. Kapankah sebetulnya kita diwajibkan berhenti dari itu semua? Ketika adzan tanda masuknya Shubuh ataukah sebelumnya, yakni sepuluh menit sebelum masuknya Shubuh?

Syaikh Nashiruddin al-Albani rohimahulloh mengatakan: “Masalah ini, ketika banyak orang meyakini bahwa makan di malam hari mulai haram sejak adzan pertama (yakni sebelum masuknya waktu Shubuh), adzan ini mereka sebut dengan adzan imsāk, tidak ada dasarnya dalam al-Qur’an, as-Sunnah dan dalam satu madzhabpun dari madzhab para imam yang empat.

Mereka semua justru sepakat bahwa adzan untuk imsāk (menahan dari pembatal puasa) adalah adzan yang kedua yakni adzan yang dengannya masuk waktu Shubuh. Dengan adzan inilah diharamkan makan dan minum serta melakukan segala hal yang membatalkan puasa.

Adapun adzan pertama yang kemudian disebut adzan imsāk, pengistilahan semacam ini bertentangan dengan dalil al-Qur’an dan Hadits. Adapun al-Qur’an, maka Robb kita berfirman:
وَكُلُواْ وَٱشۡرَبُواْ حَتَّىٰ يَتَبَيَّنَ لَكُمُ ٱلۡخَيۡطُ ٱلۡأَبۡيَضُ مِنَ ٱلۡخَيۡطِ ٱلۡأَسۡوَدِ مِنَ ٱلۡفَجۡرِۖ
“..Makan dan minumlah hingga terang bagi kalian benang putih dari benang hitam, yaitu fajar..” (QS. al-Baqarah [2]: 187)

Ini merupakan nash yang tegas di mana Alloh Subhanahu wa Ta’ala membolehkan bagi orang-orang yang berpuasa yang bangun di malam hari untuk melakukan sahur.

Artinya, Robb kita membolehkan untuk makan dan mengakhirkannya hingga ada adzan yang secara syar’i dijadikan pijakan untuk bersiap-siap karena masuk waktu fajar shādiq (yakni masuknya waktu Shubuh). Demikian Robb kita menerangkan.

Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam menegaskan makna ayat ini dengan mengatakan:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ بِلَيْلٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan di waktu malam.”  (HR. Bukhori dan Muslim)

Dalam hadits lain disebutkan:
لاَ يَغُرَّنَّكُمْ أَذَانُ بِلاَلٍ فَإِنَّمَا يُؤَذِّنُ لِيَقُوْمَ النَّائِمُ وَيَتَسَحَّرُ الْمَتَسَحِّرُ فَكُلُوا وَاشْرَبُوا حَتَّى يُؤَذِّنَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُوْمٍ
“Janganlah kalian terkecoh oleh adzan Bilal, karena Bilal adzan untuk membangunkan orang yang sedang tidur dan agar bersahur orang yang hendak sahur. Maka makan dan minumlah kalian hingga Ibnu Ummi Maktum melantunkan adzan (kedua)….”

Ibnu Hajar rohimahulloh (salah satu ulama besar madzhab Syafi’i) juga mengingkari perbuatan semacam ini. Bahkan beliau menganggapnya termasuk bid’ah yang mungkar.

Maka jelaslah bahwa waktu imsāk (menahan diri dari makan dan minum) adalah sejak terbitnya fajar shādiq –yaitu ketika adzan Shubuh dikumandangkan, bukan 10 menit sebelum adzan shubuh. Inilah yang sesuai dengan petunjuk Alloh Subhanahu wa Ta’ala dan Rosul-Nya  .

14. Dzikir secara berjama’ah baik dalam sholat tarawih maupun sholat lima waktu.
Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz rohimahulloh  tatkala menjelaskan mengenai dzikir setelah solat berkata, “Tidak diperbolehkan para jama’ah membaca dzikir secara berjama’ah. Akan tetapi yang benar adalah setiap orang membaca dzikir sendiri-sendiri tanpa dipimpin oleh yang lain. Karena dzikir secara berjama’ah (bersama-sama) adalah sesuatu yang tidak ada tuntunannya dalam syari’at Islam yang suci ini.”

15. Mengucapkan “ash Sholātul Jāmi’ah” atau shallū sholāh at-tarāwih.
Banyak kita dapati di masjid-masjid seorang mengumandangkan kata-kata: shallū shalāh at-tarāwih rahimakumulloh... (Sholat tarawihlah kalian semoga kalian dirahmati oleh Alloh...) untuk menyeru jama’ah dalam sholat Tarawih.

Hal ini tidak pernah dicontohkan oleh Rasululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam dan para salafush sholeh sesudahnya. Tidak juga dianjurkan oleh para imam yang empat seperti Imam Syafi’i rohimahulloh dan imam-imam yang lainnya. Hal ini adalah suatu perkara yang diada-adakan setelah berlalunya masa salafush sholeh.

16. Bubar terlebih dahulu sebelum imam selesai sholat taraih dan witir.
Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda,
إِنَّهُ مَنْ قَامَ مَعَ الإِمَامِ حَتَّى يَنْصَرِفَ كُتِبَ لَهُ قِيَامُ لَيْلَةً
“Sesungguhnya siapa yang solat bersama imam sampai ia selesai, maka ditulis untuknya pahala qiyamul lail satu malam penuh.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi, dishahihkan al-Albani)

Jika imam melaksanakan sholat tarawih ditambah sholat witir, makmum pun sebaiknya ikut menyelesaikannya bersama imam. Itulah yang lebih tepat.

17. Mengadakan perayaan Nuzulul Qur’an.
Perayaan Nuzulul Qur’an sama sekali tidak pernah dicontohkan oleh Nabi  , juga tidak pernah dicontohkan oleh para sahabatnya. Para ulama Ahlus Sunnah wal Jama’ah mengatakan:
لَوْ كَانَ خَيرْاً لَسَبَقُوْنَا إِلَيْهِ
“Seandainya amalan tersebut baik, tentu mereka (para sahabat) sudah mendahului kita untuk melakukannya.”

Inilah perkataan para ulama pada setiap amalan atau perbuatan yang tidak pernah dilakukan oleh para sahabat. Mereka menggolongkan perbuatan semacam ini sebagai bid’ah. Karena para sahabat tidaklah melihat suatu kebaikan kecuali mereka akan segera melakukannya. (Lihat Tafsīr al-Qur’ān al-‘Azhīm, pada tafsir surat al-Ahqaf ayat 11)

18. Tidak berniat puasa ketika di malam hari .
Juga termasuk sangkaan yang salah dari sebagian kaum Muslimin bahwa berniat untuk berpuasa Romadon hanyalah pada saat makan sahur saja, padahal yang benar dalam tuntunan syariat bahwa waktu berniat itu bermula dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.

Ini berdasarkan perkataan Ibnu ‘Umar dan Hafshah   yang memiliki hukum marfū’ (seperti ucapan Nabi  ) dengan sanad yang shahih,
مَنْ لَمْ يُبَيِّتِ الصِّيَامَ مِنَ اللَّيْلِ، فَلاَ صِيَامَ لَهُ
“Siapa yang tidak berniat puasa sejak malamnya, maka tidak ada puasa baginya.” (HR. an-Nasa’i, ad-Darimi dan al-Baihaqi, dishahihkan al-Albani)

Kata al-lail (malam) dalam bahasa Arab berarti waktu yang dimulai dari terbenamnya matahari sampai terbitnya fajar.

19. Menganggap bahwa puasa orang yang junub tidak sah bila bangun setelah terbitnya fajar dan belum mandi.
Yang dimaksud dengan orang yang junub di sini adalah orang yang junub secara umum, mencakup junub karena mimpi atau karena melakukan hubungan suami-istri, juga perempuan yang telah suci dari haidh atau nifas.

Apabila mereka bangun setelah terbitnya fajar, maka tetap boleh untuk berpuasa dan puasanya sah. Hal tersebut berdasarkan hadits ‘Aisyah dan Ummu Salamah rodiyallohu ‘anha:
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ يُصْبِحُ جُنُبًا مِنْ جِمَاعٍ لاَ مِنْ حُلْمٍ ثُمَّ لاَ يُفْطِرُ وَلاَ يَقْضِيْ
“Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam memasuki waktu Shubuh dalam keadaan junub karena jima’ bukan karena mimpi, kemudian beliau tidak buka dan tidak pula mengqadha’ (mengganti) puasanya.” (HR. Bukhori dan Muslim)

20. Menganggap bahwa bersuntik membatalkan puasa.
Bersuntik bukanlah hal yang membatalkan puasa, sehingga hal itu bukanlah sesuatu yang terlarang selama suntikan itu tidak menggantikan sifat makanan dan minuman seperti suntikan vitamin, suntikan kekuatan, atau infus. Dibolehkannya hal ini karena tidak ada dalil yang menunjukkan bahwa bersuntik dapat membatalkan puasa.
21. Merasa ragu untuk mencicipi makanan.
Boleh mencicipi makanan dengan menjaga jangan sampai masuk ke dalam tenggorokan kemudian mengeluarkannya.

Hal ini berdasarkan perkataan ‘Abdulloh bin ‘Abbas rodiyallohu ‘anhuma yang mempunyai hukum marfū’ (sampai kepada Nabi  ), yang lafazhnya:
لاَ بَأْسَ أَنْ يَذُوْقَ الْخَلَّ أَوِ الشَّيْءَ مَا لَمْ يَدْخُلْ حَلْقَهُ وَهُوَ صَائِمٌ
“Tidaklah mengapa orang yang berpuasa merasakan cuka atau sesuatu (yang ingin ia beli) sepanjang tidak masuk ke dalam tenggorokan dan ia (dalam keadaan) berpuasa.” (HR. Bukhori dan Ibnu Abi Syaibah)

Berkata Imam Ahmad rohimahulloh, “Aku lebih menyukai untuk tidak mencicipi makanan, tetapi bila orang itu harus melakukannya namun tidak sampai menelannya, maka tidak ada masalah baginya.”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, “Adapun kalau ia merasakan makanan dan mengunyahnya atau memasukkan ke dalam mulutnya madu dan menggerakkannya, maka itu tidak apa-apa kalau ada keperluan seperti orang yang kumur-kumur dan menghirup air.”

22. Meninggalkan berkumur-kumur dan menghirup air ke dalam hidung ketika berwudhu.
Berkumur-kumur dan menghirup air (ke hidung) ketika berwudhu adalah perkara yang disyariatkan pada setiap keadaan, baik saat berpuasa maupun tidak. Karena itulah kesalahan yang besar apabila hal tersebut ditinggalkan.

Tapi perlu diketahui bahwa pembolehan berkumur-kumur dan menghirup air ini dengan syarat tidak dilakukan secara berlebihan sehingga mengakibatkan air masuk ke dalam tenggorokan, sebagaimana dalam hadits Laqīth bin Saburah rodiyallahu ‘anhu bahwa Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda:
وَبَالِغْ فِي اْلإِسْتِنْشَاقِ إِلاَّ أَنْ تَكُوْنَ صَائِمًا
“Bersungguh-sungguhlah engkau dalam menghirup air (ke dalam hidungnya) kecuali jika engkau dalam keadaan berpuasa.” (HR. Abu Dawud, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah dengan sanad shahih)

23. Menganggap bahwa mandi dan berenang atau menyelam dalam air membatalkan puasa.
Anggapan tersebut salah sebab tidak ada dalil yang mengatakan bahwa berenang atau menyelam itu membatalkan puasa sepanjang dia menjaga agar air tidak masuk ke dalam tenggorokannya.

Berkata Imam Ahmad rohimahulloh, “Adapun berenang atau menyelam dalam air dibolehkan selama mampu menjaga sehingga air tidak tertelan.”

Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin  , “Tidak apa-apa orang yang berpuasa menceburkan dirinya ke dalam air untuk berenang karena hal tersebut bukanlah dari perkara-perkara yang merupakan pembatal puasa. Asalnya (menyelam dan berenang) adalah halal sampai adanya dalil yang menunjukkan makruh atau haramnya. Dan tidak ada dalil yang menunjukkan haramnya serta tidak pula ada yang menunjukkan makruhnya. Dan sebagian Ulama menganggap hal tersebut makruh hanyalah karena ditakutkan akan masuknya sesuatu ketenggorokannya dan ia tidak menyadari.”

Ini juga merupakan pendapat Ibnu Hazm rohimahulloh, Ibnu Taimiyyah rohimahulloh dan lain-lainnya.

24. Menganggap bahwa menelan ludah membatalkan puasa.
Boleh menelan ludah bagi orang yang berpuasa bahkan lebih dari itu juga boleh, seperti mengumpulkan ludah dengan sengaja di mulut kemudian menelannya.

Berkata Ibnu Hazm rohimahulloh, “Adapun ludah, sedikit maupun banyak tidak ada perbedaan pendapat (di kalangan ulama) bahwa sengaja menelan ludah tersebut tidaklah membatalkan puasa. Wa billahit taufiq.”

Berkata Imam an-Nawawi rohimahulloh, “Menelan ludah tidaklah membatalkan puasa menurut kesepakatan (para ulama).”

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh, “Dan apa-apa yang terkumpul di mulut dari ludah dan semisalnya apabila ia menelannya tidaklah membatalkan puasa dan tidak dianggap makruh. Sama saja apakah ia menelannya dengan keinginannya atau ludah tersebut mengalir ketenggorokannya di luar keinginannya ….”

Adapun dahak tidak membatalkan puasa karena ludah dan dahak keluar dari dalam mulut, hal itu apabila ludah belum bercampur dengan rasa makanan dan minuman.

25. Menganggap bahwa mencium bau-bauan yang harum membatalkan puasa.
Mencium bau-bauan yang enak atau harum adalah suatu hal yang dibolehkan, apakah bau makanan atau parfum dan lain-lain. Karena tidak ada dalil yang melarang.

Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rohimahulloh, “Dan mencium bau-bauan yang wangi tidak apa-apa bagi orang yang puasa.”

26. Mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian.
Di antara kesalahan yang lain adalah mengakhirkan adzan Maghrib dengan alasan kehati-hatian atau ihtiyāth. Sebagian mereka ada juga yang membunyikan meriam atau sirine untuk memberitahukan masuknya waktu sholat, sahur, atau berbuka. al-Imam asy-Syathibi   dalam kitabnya al-I’tishām menganggap hal ini sebagai  bid’ah.

27. Melakukan hal-hal yang membangkitkan syahwat.
Seorang yang mengeluarkan mani tanpa jima’, baik karena onani ataupun hal-hal lain yang memancing syahwatnya seperti menonton atau membaca, maka puasanya pada hari itu batal dan diwajibkan atasnya untuk mengqadhanya (mengganti puasa yang batal tersebut) pada hari lain setelah Romadon.

Syaikh Muhammad Sholih al-‘Utsaimin rohimahulloh mengatakan, bahwa apabila seseorang bermimpi sehingga megeluarkan mani pada saat berpuasa maka tidak ada sanksi baginya, karena mani yang keluar bukan atas keinginannya, bahkan keluarnya mani tersebut tanpa ia sadari, sedangkan bagi yang sengaja mengeluarkan mani dengan onani, maka sesungguhnya ia berdosa besar kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, sehingga hal itu menyebabkan puasanya batal dan wajib baginya untuk mengqadho dan bertaubat dengan benar.”

28. Banyak tidur dan melakukan perbuatan yang sia-sia.
Ada di antara kaum Muslimin yang menjadikan bulan suci ini sebagai bulan untuk tidur dan bermalas-malasan atau dengan melakukan perbuatan-perbuatan sia-sia seperti main catur, kartu domino, nonton TV, bermain Game, mendengar musik dan semacamnya, dengan dalih untuk menghilangkan kejenuhan sambil mengisi waktu luang menunggu waktu berbuka puasa, padahal akan jauh lebih bermanfaat apabila ia mengisi waktu lowong tersebut dengan membaca al-Qur’an, mendengarkan kajian-kajian Islam atau membaca buku-buku agama.

Orang yang banyak melakukan tidur di bulan Romadon melandaskan perbuatannya dengan sebuah hadits dha’if yaitu: 
“Tidurnya orang yang berpuasa adalah ibadah.”
Hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Mandah dari Ibnu Umar rodiyallohu ‘anhuma dan al-Baihaqi dari ‘Abdullah bin Abi Aufa. Hadits ini adalah dha’if. al-Hafizh al-‘Iraqi   juga mendha’ifkan hadits ini dalam takhrij beliau terhadap kitab Ihyā’ Ulūmuddīn karya al-Ghazali  .

29. Membaca doa berbuka puasa tidak pada tempatnya.
Rosululoh sollallohu ‘alayhi wa sallam apabila berbuka puasa beliau membaca doa berikut:
ذَهَبَ الظَّمَأُ وَابْتَلَّتِ الْعُرُوقُ وَثَبَتَ الأَجْرُ إِنْ شَاءَ اللَّهُ
“Telah hilang rasa dahaga, telah basah urat-urat, dan pahalanya tetap insya Alloh.” (HR. Abu Dawud)

Kebanyakan dari kaum Muslimin membaca doa tadi sebelum mencicipi makanan atau minuman padahal lafazh doa tersebut menunjukkan fi’īl mādhī (kata kerja lampau), hingga tidak mungkin dikatakan telah hilang dahaga apabila belum makan atau minum.

Adapun bacaan yang dibaca sebelum berbuka puasa adalah basmalah yaitu “Bismillah”, hal ini berdasarkan keumuman hadits Nabi sollallohu ‘alayhi wa sallam:
“Apabila salah seorang dari kalian makan makanan, maka ucapkanlah ‘Bismillah’.” (HR. at-Tirmidzi)

30. Begadang untuk sesuatu yang tidak terpuji.
Banyak orang yang begadang pada malam-malam Romadon dengan melakukan sesuatu yang tidak terpuji, bermain-main, ngobrol, jalan-jalan atau duduk-duduk di jembatan atau trotoar jalan. Pada tengah malam mereka baru pulang dan langsung sahur kemudian tidur.

Karena kelelahan, mereka tidak bisa bangun untuk sholat Shubuh berjamaah pada waktunya. Ada banyak kesalahan dan kerugian dari perbuatan semacam ini yaitu begadang dengan sesuatu yang tidak bermanfaat. Padahal Nabi   membenci tidur sebelum ‘Isya dan bercengkerama (ngobrol) setelahnya kecuali dalam hal kebaikan.

31. Meninggalkan sholat tarawih.
Padahal telah dijanjikan bagi orang yang menjalankannya -karena iman dan mengharap pahala dari Alloh- ampunan akan dosa-dosanya yang telah lalu. Orang yang meninggalkan sholat tarawih berarti meremehkan adanya pahala yang agung dan balasan yang besar ini.

Ironinya, banyak umat Islam yang meninggalkan sholat taraweh. Barangkali ada yang ikut sholat sebentar lalu tidak melanjutkannya hingga selesai. Atau rajin melakukannya pada awal-awal bulan Romadon dan malas ketika sudah akhir bulan. Alasan mereka, sholat taraweh hanyalah sunnah belaka.

Benar, tetapi ia adalah sunnah mu’akkadah (sangat dianjurkan) yang dilakukan oleh Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam, Khulafa’ur Rasyidin dan para tabi’in yang mengikuti petunjuk mereka.

Ia adalah salah satu bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala, dan salah satu sebab bagi ampunan dan kecintaan Alloh kepada hamba-Nya.

Orang yang meninggalkannya berarti tidak mendapatkan bagian daripadanya sama sekali. Kita berlindung kepada Alloh dari yang demikian. Bahkan mungkin orang yang melakukan sholat taraweh itu bertepatan dengan turunnya Lailatul Qadar, sehingga ia mendapatkan keberuntungan dengan ampunan dan pahala yang amat besar.

32. Sholat tarawih dengan tergesa-gesa dan tidak tuma’nīnah (tenang).
Pada pelaksanaan sholat tarawih di masjid-masjid sering kita saksikan imam sholat melakukan sholat tarawih dengan tergesa-gesa, terlalu cepat dalam melaksanakan shalat, tidak menyempurnakan sujud, ruku’, dan bacaan sholat lainnya.

Padahal Rosululloh sollallohu ‘alayhi wa sallam bersabda, “Seburuk-buruk pencuri adalah pencuri di dalam sholat, di mana ia tidak menyempurnakan ruku, sujud, dan kekhusyu’annya.” (HR. Ahmad)

Dan juga sabda beliau  , ‘Tidak sah sholat seseorang yang tulang punggungnya tidak lurus ketika melakukan ruku’ dan sujud.’ (HR. an-Nasa’i  dan at-Tirmidzi) 

33. Berpuasa dengan niat supaya sehat.
Niat ini merusak keabsahan puasa. Karena, puasa tidak dilakukan, kecuali dengan mengharap ridha Alloh. Adapun berdalih dengan sabda Nabi, ‘Berpuasalah kalian maka kalian akan sehat’, maka hadits ini adalah hadits lemah.

34. Tidak melaksanakan sholat Maghrib dengan berjama’ah lantaran berbuka puasa.
Hal ini banyak kita saksikan di masjid-masjid yang pada waktu Maghrib di bulan Romadon sunyi disebabkan banyak orang lebih mengutamakan berbuka puasa di rumah di bandingkan melaksanakan sholat maghrib berjamaah di masjid. Padahal Rosululloh pernah berkeinginan kuat untuk membakar rumah-rumah orang yang sholat di rumahnya.

35. Mengakhir-akhirkan sholat Zhuhur dan ‘Ashar dari waktunya lantaran tidur yang berlebihan.
Alloh Subhanahu wa Ta’ala berfirman, artinya:
“Maka kecelakaanlah bagi orang-orang yang shalat, yaitu orang-orang yang lalai terhadap shalatnya.’ (QS. al-Ma’un [107]:  4-5)

Termasuk orang-orang yang lalai terhadap sholatnya adalah mereka yang menunda-nunda waktu sholat atau meninggalkan sholat berjama’ah tanpa udzur.

Tidur merupakan salah satu karunia Alloh Subhanahu wa Ta’ala yang diberikan kepada hamba-Nya. Ia adalah suatu kebutuhan manusiawi yang harus dipenuhi. Hanya saja, jika ia melebihi batas yang wajar, maka ia bisa merusak hati.

Dalam bulan puasa ini kita mengharapkan sesuatu yang sangat besar, bahkan lebih berharga dari segala sesuatu, yaitu surga Alloh yang luasnya seluas langit dan bumi. Oleh karena itu, hendaklah kita meninggalkan banyak tidur sehingga waktu yang kita miliki tidak hilang dengan percuma.

36. Menjadi hamba Romadon.
Sebagian orang, bila datang bulan Romadon mereka bertaubat, sholat dan puasa. Sebagian lagi amat bersemangat dan tekun membaca al-Qur’an di bulan Romadon bahkan sampai mengkhatamkannya, ada juga yang banyak bersedekah dan bermurah hati terhadap kaum fakir miskin.

Akan tetapi ketika Romadon berlalu meninggalkannya ia mengabaikan semua amalan-amalan  tersebut. Ia kembali malas memakmurkan rumah-rumah Alloh   dengan sholat berjama’ah, segan membaca al-Qur’an, dan tidak lagi berpuasa sunnah. Bahkan tidak sedikit yang kembali lagi meninggalkan sholat dan melakukan berbagai perbuatan maksiat.

Alangkah ruginya golongan orang-orang seperti ini, sebab mereka tidak mengenal Alloh kecuali di bulan Romadon saja. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Robb bulan-bulan pada sepanjang tahun adalah satu jua? Bahwa maksiat itu haram hukumnya di setiap waktu? Bahwa Alloh   mengetahui perbuatan mereka di setiap saat dan tempat?

Hendaknya mereka sadar bahwa kita semua adalah hamba Alloh Subhanahu wa Ta’ala, bukan hamba Romadon. Ingatlah, Robb yang kita sembah di bulan Romadon adalah Robb yang sama di bulan-bulan lainnya. Oleh karena itu, janganlah kita sekali-kali meninggalkan amalan tersebut di luar bulan Romadhan.

Hendaknya kita bertaubat kepada Alloh Subhanahu wa Ta’ala dengan taubat nashūhah (taubat yang sebenar-benarnya), meninggalkan maksiat serta bertekad kuat untuk tidak mengulangi dosa-dosa setelah perginya Romadon.

Semoga shalawat dan salam tercurah atas Nabi Muhammad sollallohu ‘alayhi wa sallam, keluarga dan para sahabatnya.



Artikel Terkait

Previous
Next Post »