4 Faktor Untuk Sukses Dalam Belajar

Desember 09, 2015

            Faktor-faktor yang bisa menolong dalam mencari ilmu amatlah banyak, kami sebutkan diantaranya:
1.     Takwa
Taqwa adalah wasiat Alloh bagi seluruh manusia, baik generasi awal maupun generasi akhir (lihat QS. An-Nisa: 131). Taqwa pun merupakan wasiat dari Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam kepada ummatnya. Dari Abu Umamah Shodai bin ‘Ajlan Al-Bahili radhiyallohu ‘anhu, dia berkata, “Aku mendengar Rosululloh shollallohu ‘alayhi wa sallam berkhutbah pada waktu haji Wada’, beliau berkata, “Aku mendengar Rosulullah SAW berkhutbah pada waktu haji Wada’ beliau berkata: ‘Bertakwalah kalian kepada Rabb kalian, peliharalah Sholat yang lima waktu, kerjakanlah shaum dibulan Ramadhan, tunaikan zakat harta kalian, dan taatilah pemimpin-pemimpin kalian, maka kalian akan memasuki Surga Rabb kalian.”. Dan taqwa pun adalah wasiat para shahabat kepada shahabat yang lainnya.
            Makna takwa adalah seorang hamba membuat penjaga (penghalang) antara dirinya dengan sesuatu yang ditakutinya sehingga bisa menjaganya dari apa yang ditakutinya itu. Takwa seorang hamba kepada Allah artinya, dia menjadikan penghalang antara dirinya dengan murka dan kebencian Allah yang amat dia takuti dengan penghalang yang bisa menghalanginya dari kemurkaan-Nya dengan cara melaksanakan ketaatan kepada-Nya dan menjauhi maksiat kepada-Nya.
            Orang-orang yang berkaqwa akan diberikan kemampuan untuk membedakan antara yang haq dan yang batil. Inilah hakikat daripada ilmu itu sendiri. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تَتَّقُوا اللَّهَ يَجْعَلْ لَكُمْ فُرْقَانًا وَيُكَفِّرْ عَنْكُمْ سَيِّئَاتِكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ۗ وَاللَّهُ ذُو الْفَضْلِ الْعَظِيمِ
 “Hai orang-orang beriman, jika kamu bertakwa kepada Allah, Kami akan memberikan kepadamu Furqaan. Dan kami akan jauhkan dirimu dari kesalahan-kesalahanmu, dan mengampuni (dosa-dosa)mu. Dan Allah mempunyai karunia yang besar.” (QS. Al-Anfaal : 29)
            Di dalam ayat ini Alloh berfirman, “Allah akan memberi furqon bagimu” artinya menjadikan apa yang menyebabkan kalian bisa membedakan antara yang haq dan yang bathil, dan di antara yang mudharat dan yang manfaat. Masuk di dalamnya ilmu, di mana Allah akan memberikan berbagai ilmu kepada manusia yang bertakwa dan tidak diberikan kepada selainnya. Karena takwa akan menghasilkan tambahan hidayah, tambahan ilmu, dan tambahan hafalan. Oleh karena itu, disebutkan dari imam asy-Syafi’i rahimahullah bahwa ia berkata:

شَكَوْتُ إِلَي وَكِيْعٍ سُوءَ حِفْظِي، فَأَرْشَدَنِي إِلَي تَرْكِ الْمَعَاصِيْ، وَقَالَ اِعْلَمْ بِأَنَّ العِلْمَ نُوْرٌ وَنُورُاللهِ لَايُؤْتَاهُ عَاصِي
Aku mengadukan kepada Waki’ tentang jeleknya hafalanku, lalu dia membimbingku agar aku meninggalkan  maksiat Dan dia berkata, “ketahuilah bahwa ilmu adalah cahaya, dan cahaya Allah tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat”
            Tidak diragukan lagi bahwa seorang manusia, setiap kali ilmunya bertambah, bertambah pula ma’rifah dan kemampuannya dalam membedakan antara yang haq dan yang bathil, yang mudharat dan yang manfaat. Juga mencakup pemahaman yang akan Allah bukakan baginya, karena takwa sebagai sebab kuatnya pemahaman, dan kuatnya pemahaman akan menghasilkan tambahan ilmu. Engkau melihat dua orang yang menghafalkan beberapa ayat dari Kitabullah, salah satu di antranya mampu mengeluarkan tiga hukum dari ayat-ayat itu, sedangkan yang lain bisa menghasilkan lebih dari itu tergantung kemampuan pemahaman yang Allah berikan kepada mereka.
            Maka takwa merupakan sebab bertambahnya pemahaman. Termasuk juga dalam hal ini adalah firasat, artinya Allah akan memberikan firasat kepada orang yang bertakwa yang membuatnya unggul dari yang lainnya. Maka hanya dengan melihat orang lain dia akan mengetahui apakah orang ini pendusta atau jujur, baik atau jahat. Terkadang dia mampu menilai seseorang walaupun belum pernah bertemu dan belum mengetahui apapun tentang orang itu karena firasat yang Allah berikan kepadanya.
 JUAL PAKET BUKU ISLAMI

2.     Ulet dan Kontinyu dalam Menuntut Ilmu
Setiap penuntut ilmu harus mengerahkan seluruh usahanya dalam meraih ilmu dan sabar dalam hal ini serta  memelihara ilmu tersebut setelah berhasil diraih, karena ilmu tidak mungkin dicapai dengan bermalas-malasan. Seorang penuntut ilmu harus menelusuri berbagai jalan yang dapat mengantarkannya kepada ilmu, dan dia akan memperoleh pahala darinya. Hal ini berdasarkan sebuah hadits dalam shahih Muslim dari Nabi SAW bahwa beliau bersabda:
مَنْ سَلَكَ طَرِيْقًا يَلْتَمِسُ فِيْهِ عِلْمًا سَهَّلَ اللهُ لَهُ بِهِ طَرِيْقًا إِلَي الجَنَّةِ
“Barangsiapa yang menelusuri suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju Surga.” (HR. Muslim)
            Oleh karena itu, seorang penuntut ilmu harus ulet dan bersungguh-sungguh, tidak tidur pada waktu malam, dan meninggalkan segala hal yang dapat memalingkan dan menyibukkannya dari mencari ilmu.
            Terdapat banyak contoh yang mashur dikalangan Salaf tentang keuletan mereka dalam menuntut ilmu sehingga diriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas radhiyallohu ‘anhuma Bahwa dia ditanya, “Dengan apa engkau mendapatkan ilmu?” Dia menjawab, “Dengan lisan yang banyak bertanya, hati yang selalu berfikir, dan badan yang tak kenal lelah.”
            Juga diriwayatkan darinya rodhiyallohu ‘anhuma bahwa dia berkata: “…Apabila aku akan mencari hadits dari seseorang, maka aku akan mendatangi piintunya, lalu aku hamparkan selendangku di depan pintunya sehingga angin berdebu terhembus ke wajahku, lalu dia keluar dan berkata, ‘Wahai anak paman Rosulullah, apa yang membuatmu datang? Mengapa tidak engkau utus seseorang kepadaku, maka aku yang akan datang kepadamu?’ Dia menjawab, ‘Aku lebih berhak untuk mendatangimu.’ Lalu bertanya kepadanya tentang hadis…” Ibnu ‘Abbas rodhiyallohu ‘anhuma amat tawadhu’ terhadap ilmu, maka Allah pun mengangkat derajatnya karena hal itu.
            Demikianlah, setiap penuntut ilmu harus benar-benar ulet. Juga diriwayatkan tentang Imam Syafi’i rahimahullah bahwa dia bertamu kepada imam Ahmad pada suatu malam, lalu makan malam dihidangkan kepadanya, lalu imam Syafi’i makan. Kemudian dua orang ini berpisah menuju tempat tidurnya masing-masing. Malam itu Imam Syafi’i tidak tidur, tetapi dia berfikir untuk mengambil hukum-hukum dari sebuah hadis, yaitu sabda Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam.
يَا أَبَا عُمَيْرٍ فَعَلَ النُّغَيْرُ
            “Wahai Abu ‘Umair , apa yang sedang dikerjakan oleh Nughair?”
            Abu ‘Umair mempunyai seekor burung kecil yang diberi nama Nugahir, lalu burungnya mati, maka sedihlah anak ini. Nabi shollallohu ‘alayhi wa sallam adalah orang yang senang bercanda dengan anak-anak dan berbicara dengan setiap orang dengan pembicaraan yang layak dengannya.
            Semalam itu Imam Syafi’i beristinbath (mengambil hukum) dari hadits ini, dan dikatakan bahwa dari hadits ini beliau bisa mengambil lebih dari seribu faedah, dan barangkali seusai mengambil faedah dari hadits ini beliau melanjutkan memikirkan hadits lainnya, demikianlah seterusnya hingga akhir malam. Ketika Adzan subuh terdengar, sholatlah Imam Syafi’i tanpa berwudhu’ lagi, lalu kembali kerumahnya. Imam Ahmad rahimahulloh sering memuji Imam Syafi’i di tengah keluarganya, lalu mereka pun bertanya, “Wahai Abu ‘Abdillah (Imam Ahmad), bagaimana engkau memuji orang seperti ini yang makan dan minum, tidur tanpa sholat malam dan sholat shubuh tanpa berwudhu?” lalu hal itu ditanyakan kepada Imam Syafi’i, maka beliau pun menjawab, “Adapun kemarin, saya makan banyak hingga menghabiskan makanan yang ada di wadah karena saya tidak pernah mendapati makan yang lebih baik dari makanan Imam Ahmad, maka saya ingin memenuhi perut saya dengan makanan seperti ini. Adapun tadi malam saya tidak melakukan shalat malam, karena ilmu itu lebih utama dari shalat malam. Tadi malam saya berfikir tentang hadist ini. Adapun saya tidak berwudhu’ untuk sholat shubuh karena saya masih mempunyai wudhu’ sejak sholat ‘Isya’.” Allah tidak suka menyulitkan manusia dengan air wudhu’
            Jadi, saya katakan bahwa ulet dalam menuntut ilmu itu merupakan hal yang penting. Perhatikan zaman kita sekarang, apakah kita seulet itu? Tidak! Adapun orang-orang yang mempelajari pelajaran yang terkurikulum, apabila mereka selesai dari suatu pelajaran, bisa jadi mereka bermain-main dengan perkara-perkara yang tidak menunjang pelajaran.
            Guru kita yang ulet Syaikh ‘Abdurrahman as-Sa’di rahimahullah telah menceritakan kepada saya bahwa disebutkan dari al-Kisa-i, imam penduduk kufah dalam ilmu nahwu, bahwa dia mempelajari ilmu nahwu tetapi tidak juga faham. Pada suatu hari dia menemukan seekor semut membawa makanannya lalu dia naik ke dinding. Setiap kali naik, dia terjatuh, tetapi dia ulet hingga dia terbebas dari rintangan dan berhasil naik ke dinding. Berkatalah al-Kisa-i, “Semut ini begitu ulet hingga dia berhasil mencapai tujuan.” Sejak saat itu pun dia belajar dengan ulet dan gigih hingga menjadi imam dalam ilmu nahwu.
            Oleh karena itu, wahai para penuntut ilmu, kita wajib ulet dan tidak putus asa karena putus asa artinya menutup pintu kebaikan. Kita pun tidak boleh pesimis, tetapi harus optimis dan mengharapkan kebaikan bagi diri kita.
3.     Menghafal
            Penuntut ilmu harus gigih dalam mengulang dan menguasai apa yang telah dipelajari baik dengan cara menghafalnya di dada atau dengan cara menulisnya, karena manusia itu seringkali lupa. Maka, jika tidak bersungguh-sungguh dalam menghafal dan mengulang pelajaran yang telah dipelajari berarti hal itu menyia-nyiakan dan melupakannya. Dalam sebuah Sya’ir dikatakan:
الْعِلْمُ صَيْدٌ وَالكِتَابَةُ قَيْدُهُ * قَيِّدْ صُيُوْدَكَ بِالحَبَالِ وَالوَاثِقَةُ * فَمَنِ الحَمَاقَةِ أَنْ تُصَيِّدَ غَزَلَةٌ * وَتَتَرَكَهَا بَيْنَ الْخَلَائِقِ طَالِقَةٌ
Ilmu adalah binatang buruan dan tulisan adalah pengikatnya,
Ikatlah buruanmu dengan tali yang kuat
Maka bodohlah orang yang berburu kijang,
Tetapi dia membiarkannya terlepas diantara manusia.
Di antara cara yang dapat membantu dalam menghafal dan memelihara ilmu adalah memberi petunjuk kepada manusia dengan ilmu itu. Allah Ta’ala berfirman,
وَالَّذِينَ اهْتَدَوْا زَادَهُمْ هُدًى وَآتَاهُمْ تَقْوَاهُمْ
“Dan orang-orang yang mau menerima petunjuk, Allah menambah petunjuk kepada mereka dan memberikan balasan ketakwaannya.” (QS. Muhammad : 17)
            Dan Dia berfirman:
وَيَزِيدُ اللَّهُ الَّذِينَ اهْتَدَوْا هُدًى
“Dan Allah akan menambah petunjuk kepada mereka yang telah mendapat petunjuk..” (QS. Maryam: 76)
            Maka setiap kali seseorang mengamalkan ilmunya, niscaya Allah akan menambahkan daya hafal dan pemahamannya berdasarkan keumuman firman Allah, “Allah akan menambah petunjuk kepada mereka.”
4.     Belajar secara kontinyu kepada ulama (guru/ustadz)
            Penuntut ilmu harus memohon pertolongan kepada Allah subhanahu wa ta’ala, kemudian setelah itu meminta bantuan kepada orang yang berilmu, dan memanfaatkan apa yang telah mereka tulis dalam kitab-kitab mereka, karena jika hanya membaca dan menelaah saja, maka hal itu membutuhkan waktu yang amat panjang, berebeda dengan seseorang yang duduk di hadapan seorang alim yang menjelaskan dan menerangkan pelajaran kepadanya serta menerangi jalannya. Saya tidak mengatakan bahwa ilmu tidak akan diperoleh kecuali dengan belajar langsung kepada ulama, terkadang seseorang memperoleh ilmu dengan cara membaca dan menelaah, tetapi umumnya sekalipun dia menekuni dengan setekun-tekunnya, baik siang maupun malam dan diberikan pemahaman, tetapi sering kali dia terjerumus kedalam keselahan. Oleh karena itu, dikatakan bahwa barangsiapa yang pembimbingnya adalah kitab maka kesalahannya akan lebih banyak dari pada benarnya. Akan tetapi hakikatnya hal ini tidaklah mutlak.
            Dan jalan terbaik adalah mempelajari ilmu langsung dari para Syaikh. Saya nasihatkan juga kepada para penuntut ilmu agar tidak mempelajari satu cabang ilmu dari setiap guru. Seperti belajar fiqih dari banyak guru, karena para ulama berbeda dalam cara mengambil dalil dari al-Kitab dan as-Sunnah, pendapat mereka pun berbeda pula. Jadi, engkau harus menetapkan satu guru untuk satu ilmu, baik dalam fiqih, balaghah, atau yang lainnya. Artinya, engkau mempelajari satu jenis ilmu dari seorang guru. Jika seorang guru menguasai beberapa cabang ilmu maka menetaplah engkau dengannya karena jika engkau belajar ilmu fiqih misalnya dari banyak ulama lalu mereka ikhtilaf  (berselisih) dalam pendapat mereka, maka bagaimana sikapmu padahal engkau hanya seorang thalib (penuntut ilmu)? Engkau akan bingung dan ragu. Tetapi jika engkau menetap bersama satu alim dalam satu cabang ilmu maka hal ini akan membuatmu merasa tenang.           




Artikel Terkait

Previous
Next Post »